STARBUCK AMERIKA DITUNTUT 5 JUTA DOLAR KARENA TERLALU BANYAK MENARUH ES BATU DALAM MINUMAN ES KOPI

Berita yang saya kutip dari detik.com ini sangat menarik, kenapa tidak ? Karena bagi kita ini terkesan sangat sepele untuk dijadikan sebuah permasalahan hukum, apalagi dengan nilai tuntutan ganti rugi sebesar 5 juta US Dollar.

Namun bila kita berhitung, nilai tuntutan tersebut diatas sangatlah beralasan dan dapat dipertanggung jawabkan.


                                             (sumber foto : detik.com/fox news/tmz)

"Seorang pelanggan Starbucks yang memesan minuman es ukuran Venti hanya menerima 14 ounces (414 ml) minuman. Jumlah ini sedikit lebih banyak dari setengah jumlah yang diiklankan dan dibayarkan pelanggan," sebut laporan Pincus menjelaskan minuman es yang dimaksud adalah es kopi. Dalam ukuran Venti, seharusnya jumlah minuman yang diterima pelanggan (tanpa es batu) sebanyak 24 ounces atau sekitar 709 ml sesuai dengan apa yang diiklankan Starbucks. Bukan 14 ounces dengan tambahan banyak es batu.

(http://food.detik.com/read/2016/05/03/102255/3202293/297/starbucks-dituntut-rp-65-miliar-karena-terlalu-banyak-taruh-es-batu-dalam-minuman)


Faktor kali menyebabkan nilai tuntutan tersebut masuk diakal.

Kasus seperti diatas sebenarnya sangat banyak terjadi disekitar kita, hanya saja pola berpikir kita serta sistem birokrasi hukum yang cenderung memakan waktu, membuat kita urung mempermasalahkan lebih lanjut.

Misalnya :

  1. Kasus pengembalian uang pembelian di supermarket atau mini market yang ditukar dengan permen,
  2. Kasus harga barang yang lebih mahal dari pada yang tertera pada rak barang di supermarket/minimarket,
  3. Jebakan harga dari sebuah promo atau iklan dari sebuah produk yang dijual di toko online/supermarket, 

Di Indonesia permasalah tersebut diatas adalah masuk dalam ranah Hukum Perlindungan Konsumen.

Dalam kasus Starbuck Amerika ini, penulis mencoba melihat dari Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 8 angka 1 huruf b dan huruf f yang bunyinya sebagai berikut :

"Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; "


Pelanggaran terhadap pasal inilah kira - kira jika gugatan terhadap Starbuck Amerika jika dilakukan di Indonesia.

Namun apakah dengan pasal tersebut Starbuck Indonesia dimungkinkan untuk digugat dangan kasus yang sama ?

Menurut penulis mungkin saja / tidak tertutup kemungkinan, akan tetapi kondisi sudut pandang hukum dan penafsiran hukum di Indonesia tidak sama dengan penafsiran hukum di Amerika. Umumnya penafsiran hukum di Amerika bersifat "leterlek" atau "arti/makna literal (harafiah) yang mana apa yang tertulis dalam sebuah janji dan apa yang tidak tertulis akan membawa dampak baik atau pun buruk bagi para pihak. Oleh karena itu umumnya sebuah perjanjian ataupun peraturan di Amerika memiliki jumlah halaman yang lebih tebal karena memiliki klausul yang lebih banyak.

Perihal mengenai ciri perjanjian/kontrak di Amerika tidak lepas dari pengaruh sistem hukumnya yaitu Common Law (Anglo Saxon) yang mana dalam pembuatan perjanjian/kontrak, para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati syarat-syarat/klausul yang diinginkan oleh para pihak, sepanjang syarat-syarat/klausul tersebut tidak bertentangan kebijakan publik mengenai suatu hal dan juga tidak melakukan pelanggaran hukum. Namun jika ada syarat - syarat atau klausul tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan digunakan dan diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri.

Didalam perjanjian/kontrak sistem hukum Common Law (Anglo Saxon) suatu kerugian biasanya diukur dengan " lost benefit of bargain "   (manfaat/keuntungan yang harus didapat yang hilang).
Peraturan ini memberikan kesempatan pada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar perjanjian/kontrak. Dan pada dikebanyakan negara bagian atau jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat pelanggaran yang dikenal dengan istilah " konsekuensi kerugian "

Sementara Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Civil Law, tidak tersedia peraturan yang khusus mengatur tentang penghitungan kerugian karena pelanggaran kontrak. Standar tentang penghitungan kerugian pada Civil Law lebih berasal pada penghitungan yang terdapat didalam kontrak, atau berdasarkan putusan hakim semata sebagai sumber hukumnya.

Oleh karena itu, didalam kasus Starbuck ini, tidaklah mengada - ada jika pengacara dari pihak Penggugat yakni Steven Hart mengeluarkan pernyataan bahwa kerugian dalam hal bisa mencapai 5 juta USD atau setara 65 miliar rupiah.

Komentar

Postingan Populer