HUKUM ADAT VERSUS HUKUM NEGARA

HUKUM ADAT VERSUS HUKUM NEGARA


Di Indonesia, gesekan antara hukum adat dengan hukum negara terbuka lebar. Di satu sisi, hukum adat yang ada berkembang dari suasana kejiwaan komunitas adat dan cenderung menghasilkan keberagaman sedang di lain sisi hukum yang dibuat oleh negara cenderung menuntut penyeragaman tatanan hukum. Peluang konflik tersebut dalam era otonomi daerah semakin terbuka karena kabupaten/kota dan desa sama-sama memiliki otonomi dan secara legal formal keduanya berhak untuk membuat tata hukum di wilayah kewenangannya. Celakanya, wilayah kewenangan keduanya saling berhimpitan sehingga semakin membuka peluang terjadinya gesekan negatif. Gesekan antara para pembuat peraturan perundangan di aras kabupaten/kota (pemerintah dan DPRD) yang menganut mazhab positivisme dan komunitas adat cenderung menganut mazhab sosio-legal menarik untuk diikuti.
Positivisme versus Sosio-Legal
Penganut mazhab positivisme, salah satu seorang pelopornya adalah John Austin (1879), mengatakan bahwa hukum haruslah dilepaskan dari unsur-unsur non-juridis dan mesti dibuat oleh lembaga yang memiliki kedaulatan untuk diberlakukan pada mereka yang mengakui kedaulatan lembaga bersangkutan. Lembaga pembuat hukum ini memiliki kewenangan membuat tatanan hukum yang dianggapnya sesuai bagi masyarakat tanpa perlu melihat aspirasi masyarakat selaku konstituennya. Ini berarti, lembaga pembuat hukum tersebut memiliki kewenangan untuk menyeragamkan tatanan hukum dengan alasan tipikalnya berupa kepastian hukum dan keadilan.
Sedang penganut mazhab sejarah, dipelopori Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), melihat hukum sebagai fenomena sejarah dan sosial atau disebut sosio-legal. Mereka percaya bahwa setiap masyarakat hidup dan dikuasai oleh hukum yang sesuai dengan ciri khasnya masing-masing, tergantung pada riwayat hukum (rechtgeschichte) dan struktur sosialnya. Oleh karenanya, hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu masyarakat (volksgeist).
Ada tiga prinsip utama yang umumnya dipegang penganut mazhab ini, (1) ada keterkaitan antara sejarah dan struktur sosial dengan hukum sehingga hukum bukan disusun atau diciptakan oleh orang atau lembaga melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakatnya (proses organis); (2) para ahli hukum hanya berperan menangkap bahan-bahan hukum mentah yang ditemukan dalam masyarakat dan memformulasikan prinsip-prinsip hukum tersebut secara teknis. Dengan demikian, para ahli hukum bukanlah kelompok yang berbeda dengan masyarakatnya melainkan organ dari kesadaran hukum masyarakatnya; dan (3) hukum tidak dapat diterapkan secara universal karena setiap masyarakat telah membangun lingkungan hukumnya, tata kramanya, adat istiadatnya dan bahasa khasnya sendiri.
Di Indonesia, eksistensinya keduanya diakui sebagai dua entitas hukum yang berbeda. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, eksistensi kedua entitas hukum nyata terasa dalam kehidupan keseharian masyarakatnya.
Di era sebelumnya dominasi negara terhadap komunitas adat sangat kuat. Hukum adat termarjinalisasi oleh hukum yang diberlakukan seragam oleh negara, bahkan banyak pula yang telah terhapus dari khasanah praktik hukum. Tetapi saat ini tuntutan untuk memperkuat kembali eksistensi hukum adat mencuat ke permukaan, seperti di Provinsi Bali, Provinsi Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan daerah-daerah lainnya. Bahkan di NAD tuntutan untuk kembali ke hukum adat dan Syariat Islam tidak lagi merupakan tuntutan yang bersifat malu-malu melainkan tuntutan terbuka. Masyarakat Aceh tidak sekedar menuntut pemberlakukan Syariat Islam pada ranah hukum privat tetapi juga pada ranah hukum publik.
Eksistensi Hukum Adat di Propinsi Bali
Berbeda dengan kasus di NAD, di Provinsi Bali terjadi "ko-eksistensi" damai antara hukum adat dan hukum negara. Artinya, kedua hukum berlaku dan berjalan di ranah kewenangannya masing-masing. Situasi yang serupa mungkin terjadi pula di Provinsi Sumatera Barat. Tetapi mesti diakui bahwa dibalik itu sesungguhnya terjadi persaingan dan tarik-menarik di antara keduanya yang memunculkan dualisme kepemerintahan desa, yaitu desa adat dan desa dinas (atau desa administratif).
Desa adat di Bali telah ada sejak jaman pra kemerdekaan. Legitimasi desa adat berasal dari warga adat dan kemudian memperoleh penguatan dari kerajaan-kerajaan di Bali saat itu, dalam bentuk prasasti-prasasti. Dengan demikian, desa adat ini adalah pembawa kewenangan dari hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikenal dengan nama awig-awig adat atau hukum adat. Selain sebagai lembaga politik, desa adat juga merupakan lembaga hukum yang berperan sebagai wahana bagi warga adatnya dalam memformulasikan aspirasi warga menjadi hukum adat (legal drafting) melalui forum paruman adat (musyawarah adat).
Dalam paruman adat ini setiap warga adat memiliki hak untuk menyatakan aspirasi dalam kerangka menjaga keselarasan individu dengan masyarakat. Tujuan yang lebih mementingkan keselarasan individu dengan masyarakat inilah merupakan perbedaan antara hukum adat di Bali dengan hukum negara. Dalam hukum adat, masyarakat dan individu tidak dianggap sebagai entitas yang berbeda, sedang hukum negara sebagai derivat dari cara berpikir hukum barat (Belanda) cenderung bertujuan menjaga kepentingan individu.
Perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam hal ketaatan untuk mematuhi aturan. Dalam hukum adat, ketaatan mematuhi aturan bukan disebabkan oleh adanya kekuasaan dari institusi pemaksa milik negara melainkan karena adanya paksaan sosial yang berbentuk sanksi sosial (sekala) dan juga sanksi yang bersifat religi (niskala). Adanya sanksi religi ini makin memperkuat daya ikat hukum adat.
Berbeda dengan desa adat, sejarah kemunculan desa dinas di Bali berawal dari sistem keperbekelan yang diintrodusir Pemerintah Kolonial Belanda. Perbedaan peran dan kewenangan antara desa adat dan keperbekelan sangat jelas sehingga tidak memunculkan dualisme kepemerintahan di aras desa. Keperbekelan berperan menarik pajak dan menjaga kepentingan ekonomi Belanda lainnya. Sedang kewenangan untuk mengatur rumah tangga desa, termasuk menjalankan hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan religi (sima) yang dirumuskan warga adatnya, tetap berada di tangan desa adat.
Tradisi religi dan aspirasi hukum antar komunitas adat menyebabkan hukum adat yang berlaku di berbagai desa adat Bali seringkali berbeda satu dengan lainnya, sekalipun letaknya bersebelahan. Proses legislasi semacam ini menyebabkan hukum-hukum adat di Bali menjadi hukum hidup dan merupakan penjelmaan dari perasaan hukum warga adatnya.
Akan tetapi setelah UU No. 5 tahun 1979 berlaku, dualisme kepemerintahan di aras desa muncul. Sebab, undang-undang ini memperkuat keperbekelan sebagai desa yang memiliki kewenangan hukum untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Ko-eksistensi Damai sebagai Pilihan
Pengakuan implisit orang Bali terhadap berlakunya dualisme sistem hukum lebih merupakan pilihan yang dianggapnya paling bijak guna menjaga keselarasan hubungan antara negara dan masyarakat adat (adatrechtgemeenschap). Bila dilihat secara mendalam, pilihan ini sebenarnya tidak lepas dari latar belakang sejarah yang dilalui oleh orang-orang Bali itu sendiri dan cara berpikir yang dianutnya. Adalah fakta bahwa sejarah Bali penuh dengan pergolakan sosial maupun religi dan setiap pergolakan selalu bermuara pada munculnya keseimbangan yang baru.
Pergolakan pertama terjadi saat agama Hindu masuk Bali. Bentuk kompromi yang terjadi adalah dengan inkulturasi antara Agama Hindu dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya. Pergolakan selanjutnya terjadi ketika Dinasti Warmadewa diganti Dinasti Kepakisan akibat kekalahan dari Kerajaan Majapahit. Pergantian penguasa yang menganut mazhab Agama Hindu yang berbeda ini menyebabkan pergolakan religi diikuti dengan pergolakan sosial. Pergolakan religi saat itu dipecahkan dengan memunculkan konsepsi Trimurti yang mengakui Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai satu kesatuan entitas. Dua mazhab yang bertentangan ini lalu bersatu.
Diturunkannya status sosial para ksatria dinasti Warmadewa menjadi rakyat biasa menimbulkan pergolakan sosial. Solusinya adalah dengan mengubah sistem kasta di Bali dari catur wangsa, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra seperti di India, menjadi triwangsa yaitu kasta Brahmana, Ksatria dan Jaba. Dalam hal ini, kasta Jaba tidak identik dengan kasta Sudra karena di dalamnya termasuk pula bekas para ksatria Dinasti Warmadewa.
Pergolakan lainnya terjadi pasca kemerdekaan yang mengubah sistem kerajaan dengan stratifikasi sosial yang ketat menjadi republik yang cenderung egaliter. Saat itu terjadi pertentangan tajam antara kasta Jaba di satu pihak dengan kasta Brahmana dan Ksatria di lain pihak untuk memperebutkan posisi di pemerintahan dan sosial-kemasyarakatan. Pergolakan inipun akhirnya bermuara pada keseimbangan baru dalam bentuk tatanan yang lebih egaliter.
Pergolakan yang silih berganti dan selalu berakhir dengan keseimbangan baru menumbuhkan kesadaran dalam diri mereka bahwa perubahan itu merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Permasalahannya adalah bagaimana agar perubahan itu tidak desktruktif. Kesadaran inipun menjadi salah satu cara berpikir tipikal orang Bali.
Cara berpikir tipikal seperti di atas tercermin dari konsepsi religi. Konsepsi religi orang Bali mengenal konsep Desa-Kala-Patra dan Desa Mawa Cara. Inti ajaran dari kedua konsep adalah segala sesuatu perlu disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (kala) dan situasi (patra). Konsep religi yang mengajarkan tentang perlunya penyesuaian diri ini diperkuat dengan konsep religi lain yang mengajarkan tentang pentingnya keharmonisan, yaitu konsep Tri Hita Karana. Konsep ini mengajarkan tentang tiga cara untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan rohaniah. Ketiga cara tersebut adalah: (1) adanya hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, (2) adanya hubungan harmonis antar manusia dan (3) adanya hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Ketiga konsep religi di atas saling memperkuat satu dengan lainnya sehingga memunculkan cara berpikir tipikal orang Bali, yang di satu sisi mengakui perubahan dan di sisi lain menuntut agar perubahan tersebut tetap menghasilkan keharmonisan. Cara berpikir seperti inilah mendorong pada pilihan menciptakan ko-eksistensi damai antara hukum adat dengan hukum negara.
Bagaimana Eksistensi Hukum Adat dalam Era Otonomi Daerah
Kompromi yang telah terjadi antara desa adat sebagai pemegang kewenangan hukum adat dengan desa dinas sebagai penjaga hukum negara di aras desa, berpeluang mengalami pergeseran. Peluang pergeseran ini bersumber dari diktum-diktum dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang mengakui otonomi desa. Diktum-diktum hukum itu menimbulkan pertanyaan baru, desa mana yang dimaksud oleh diktum-diktum tersebut? "Apakah desa adat atau desa dinas?"
Bagi penganut paradigma berpikir sentralistik, hal di atas bukanlah masalah. Desa mana yang akan dipilih tergantung pada subyektivitas para pembuat keputusan hukum di tingkat atas desa. Kewenangan yang dimiliki para elit di tingkat atas desa dianggap sebagai dasar legitimasi untuk menerapkan keputusan secara seragam. Sedang para penganut paradigma desentralistik berpendapat bahwa komunitas yang ada di desalah yang berhak menentukannya. Sebab, pemerintah di atas desa hanyalah memfasilitasi aspirasi hukum masyarakat desa, sehingga keberagaman aspirasi hukum dianggap merupakan konsekuensi logis yang konstruktif.
Jawaban untuk pertanyaan di atas sekaligus menjawab pertanyaan tentang "Hukum mana yang akan diakui negara, dalam kaitannya dengan otonomi masyarakat desa mengatur rumah tangganya sendiri?" Hukum-hukum adat yang cenderung beragam antar komunitas adat atau hukum negara yang cenderung seragam?". Untuk memperjelas jawaban dari pertanyaan ini, akan lebih bijak bila dijawab terlebih dahulu pertanyaan: "Apakah hukum yang akan diberlakukan bertujuan sekedar untuk kepastian hukum atau agar tidak ada gap antara aspirasi hukum yang muncul dalam masyarakat dengan hukum positif yang diberlakukan?". Bila tujuan terakhir yang dipilih maka tidak ada pilihan selain mengakomodir aspirasi hukum yang tumbuh di dalam masyarakat. Lembaga di aras atas desa yang memiliki kewenangan untuk menentukan hukum negara, tinggal mencari benang-benang merah yang terkandung dari beragam aspirasi hukum yang muncul dalam masyarakat dan memformulasikan dalam bentuk hukum negara (hukum positif). Bila cara berpikir induktif semacam ini yang dianut maka hukum negara hanyalah mengatur hal-hal yang berlaku umum. Sedangkan hal-hal yang bersifat spesifik lokal, sepenuhnya diserahkan pada hukum-hukum lokal yang diformulasikan oleh masyarakat lokal itu sendiri.
Bila cara berpikir tersebut dianut pada saat memformulasikan hukum negara (legislasi) maka besar kemungkinan tidak akan ada gap antara perilaku yang seharusnya (yang dituntut oleh hukum negara) dengan perilaku hukum yang dipraktekkan masyarakat dalam keseharian. Hal ini karena ketentuan yang tercantum dalam hukum negara dianggap merupakan hal yang seharusnya dilakukan dan ditaati. Sanksi-sanksi yang tercantum dalam hukum negara, tidak lagi dianggap sebagai sanksi yang berlaku hanya karena adanya institusi pemaksa milik negara tetapi lebih dianggap sebagai sanksi sosial yang logis.
Cara berpikir di atas akan memunculkan beragam hukum lokal di setiap desa, baik hukum adat ataupun bukan. Adanya keberagaman hukum lokal ini bukan berarti tidak adanya kepastian hukum. Sebab, hukum-hukum adat sebagai salah satu wujud dari hukum lokal terbukti secara empirik, paling tidak di Provinsi Bali, mampu memberikan kepastian hukum. Saat ini awig-awig adat yang ada di desa adat di Bali hampir seluruhnya telah terkodifikasi dalam bentuk hukum tertulis (statutory law). Hukum-hukum adat tersebut dikodifikasi setelah melalui proses penggalian kebiasaan hukum yang berlaku di masyarakat secara partisipatif dan pemilahan terhadap kebiasaan hukum yang masih dapat dipertahankan dan yang perlu ditinggalkan. Dengan telah dituangkannya hukum-hukum adat tersebut dalam bentuk hukum tertulis - maka pertimbangan hukum tidak lagi berdasarkan keputusan penguasa adat atau pemuka agama (seperti yang terjadi di jaman kerajaan), melainkan berdasarkan aturan-aturan tertulis yang tertuang dalam hukum itu sendiri. Ini merupakan wujud dari kepastian hukum sekaligus keadilan komunal. Dengan kata lain, konotasi hukum adat sebagai hukum tidak tertulis (nonstatuir), jelas terbantah.
Hal di atas sekaligus memenuhi syarat bagi hukum adat untuk dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku nasional (hukum adat nasional). Saat ini, sebagian besar hukum adat di Bali telah memenuhi 3 (tiga) syarat untuk menjadi hukum positif seperti yang dikemukakan oleh Van Valenhoven, yaitu: (1) memperhatikan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (verloop) dan (3) menemukan keajegannya (regelmaat).
Dalam konteks negara kesatuan, proses legislasi yang induktif ini justru akan memperkuat persatuan dan kesatuan itu sendiri. Dengan tertampungnya aspirasi hukum setiap anak bangsa, maka tidak akan ada satu komunitaspun yang merasa menumpang di republik ini. Mereka semua akan merasa tinggal di rumahnya sendiri yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Situasi psikologis semacam ini akhirnya akan menyebabkan jargon 'persatuan dan kesatuan' tidak sekedar pemanis bibir semata melainkan sungguh-sungguh meresap dalam hati sanubari yang terdalam setiap anak bangsa.

Daftar pustaka
Soepomo, 'Bab-bab Tentang Hukum Adat', Pradya paramitha, Jakarta, Cet XIV, hal. 6.

Peter J. Burns, 'The Leiden Legacy: Concept of Law In Indonesia', Pradnya Paramitha, Jakarta, 1999, hal. 306.

Sumaryati Hartono 'Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum Nasional' Makalah Hukum Adat Universitas Islam Yogyakarta, 1998, hal 2


Komentar

Postingan Populer